MAKALAH
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN
Di susun untuk
memenuhi
Mata kuliah : Hermeneuti
Dosen pengampu : Kurdi
Fadl, M.Si
Di Susun oleh:
1.
Afiyatul
Azkia (2031 111 007)
2.
Damsiki
(2031 111 006)
PRODI TAFSIR
HADITS
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian al-Qur’an hingga saat ini dan sangat mungkin di masa-masa
yang akan datang mendapatkan perhatian yang cukup signifikan dari peneliti,
dosen, pengajar dan mahasiswa, karena al-Qur’an merupakan sumber utama dalam
islam, salah satu agama yang terbesar pengikutnya.[1]
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW
sekaligus petunjuk untuk manusia sampai kapan dimanapun, memiliki pelbagai
macam keistimewaan. Keistimewaan-keistimewaan tersebut antara lain susunan
bahasanya yang unik dan memesonakan, sifat agung yang tidak seorangpun mampu
mendatangkan hal yang serupa, bentuk undang-undang yang komprehensif melebihi
undang-undang buatan manusia, memuat pengetahuan yang tidak bertentangan dengan
pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya, memenuhi segala kebutuhan
manusia, mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami
bahasanya walaupun tingkat pemahaman mereka berbeda, sesuai dengan
kecenderungan, interest, dan motivasi mufassir, sesuai denga missi yang
diemban, kedalaman dalam ragam ilmu yang dikuasai, serta kemampuan dan kondisi
soio kultural yang membangun karakter dan kondisi sosio kultural masyarakat
yang dihadapi.[2]
Banyak umat manusia yang melakukan interpretasi al-Qur;an. Namun
siapa saja yang menginterpretasikan al-Qur’an, kebenaran interpretasi al-Qur’an
hanya sebatas kebenaran relatif saja, karena al-Qur’an difahami sangat
variatif, dan disesuaikan dengan kodisi zaman yang terjadi saat
penginterpretasian.
Fazlur Rahman adakah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual
islam kontemporer yang terkemuka. Tantangan kehidupan moderen dan ontemporer
mengharuskan Fazlur Rahman untuk berfikir keras dalam menemukan preskripsi demi
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang muncul, menyadarkannya untuk mengkaji
ulang beberapa pandangan yang baku di kalangan umat Islam, tetapi tidak
akomodatif bahkan “sulit” diaplikasika
dalam kehidupan masyarakat.
Fazlur Rahman memandang perlu diupayakan reinterpretasi al-Qur’an.
Dalam hal ini, beliau menawarkan metode tafsir knotemporer yang berbeda dengan
metode-metode era sebelumnya. Metode tafsir yang memiliki nuansa “unik” dan menarik
untuk dikaji secara intensif, yaitu metode yang populer dengan nama “double
movement” (Gerakan Ganda).[3]
Rahman menyiratkan pemahaman bahwa herneneutika merupakan alat
metodologis yang unggul. Ia pun mendalami teori-teori hermeneutika ketika
sebagian besar pemikir Muslim lainnya belum mengenalnya. Karenanya, dalam
blantika pemikiran Islam, ia dipandang sebagai tokoh yang turut merintis
penerapan hermeneutika untuk mamahami teks al-Qur’an.
Kiprah Rahman dalam memperkenalkan hermeneutika ini ternyata mendapat
sambutan di lingkungan akademik Islam. Ide-ide hermeunetisnya banyak dijadikan
referensi oleh pemikir-pemikir Muslim. Paling tidak, pemikir-pemikir semisal
Amina Wadud dan Riffat Hassan mengikuti alur hermeneutisnya. Dua tokoh feminis
ini menemukan pemahaman baru tentang jender, da berhasil merekonstruksi pemahaman
mereka secara labih rasional dan egaliter setelah menerapkan hermeneutika.
Pada gilirannya hermeneutika menjadi disiplin yang diajarkan di
sejumlah lembaga pendidikan. Namun ironisnya ketika keilmuan islam mulai
menunjukkan kembali geliat awal kemajuannya ini, sekelompok Muslim lain tidak
merestui kedatangan hermeneutika. Alasan sederhananya, bahwa hermeneutika
berasal dari Barat-Kristen, sehingga tidak menutup kemungkinan nilai-nilai Barat-Kristen itu disusupkan ke
dalam Islam, khususnya dalam memahami Al-Qur’an.kelahiran hermeneutika
sesunggunya dimaksudkan hanya untuk mencari kebenaran-kebenaran Injil, kitab
suci kristen yang tidak diakui orisinilitas dan otentitasnya. Karena al-Qur’an sudah
diyakini otentitas dan orisinilitasnya maka ia tidak butuh hermeneutika. Pada
implikasi yang lebih buruk, hermeneutika akan merusak pemahaman umat Islam yang
selama ini telah mapan.[4]
Tulisan ini tidak bermaksud merespons secara khusus penolakan ini, karena
apa yang hendak dilakukan disini adalah menelusuri ide-ide hermeneutika Fazlur
Rahman. Berbekal dengan analisis atas hermeneutika tokoh ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
FAZLUR RAHMAN
Ia dilahirkan pada hari Minggu, 21 September 1919 M, di sebuah
daerah yang bernama Hazzara, barat laut Pakistan. Ayahnya bernama Maulana
Syahab al-Din dan nama keluarganya adalah Malak. Ia dibesarkan dalm dalam
sebuah lingkungan keluarga Muslim yang taat, yang mempraktekkan ajaran
fundamental Islam seperti, shalat, puasa dan sebagainya. Maka tidak heran jika
Fazlur Rahman pada waktu berusia 10 tahun telah menguasai teks Al-Qur’an di
luar kepala. Orang yang sangat berjasa dalam menanamkan dan mebentuk
kepribadiannya adalah ayah dan ibunya sendiri. Ayahnya adalah seorang alim yang
bermadzhab Hanafi[5],
sebuah madzhab sunni yang relatif lebih rasioanl ketimbang madzhab sunni
lainnya (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali)[6]
yang berlatar belakang pendidikan dari Deoband, sebuah madrasah tradisional
terkemuka di anak benua Indo-Pakistan saat itu.[7]
Tidak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang menentang dan
menganggap pendidikan moderen dapat meracuni keimanan dan moral, Maulana Syahab
meyakini bahwa Islam harus menghadapi realitas kehidupan moderen, tidak saja
sebagai sebuah tantangan tetapi juga merupakan kesempatan. Keyakinan inilah
yang kelak dipraktekkan ayahnya pada diri Fazlur Rahman dan bahkan terus
bertahan dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang dan kejujuran,
terutama nilai cinta yang dicmpakkan pada Fazlur Rahman sewaktu kecil.[8]
Pendidikan dasar yang dilalui Fazlur Rahman pada usia sekolah
adalah dalam bidang wacana Islam tradisional di bawah bimbingan ayahnya. Wacana
pendidikan Islam tradisional biasanya diawali dengan menghafal teks al-Qur’an,
disamping mempelajari Bahasa Arab, bahasa Persia, Ilmu retorika, sastra,
logika, filsafat, kalam, fiqih, hadits dan tafsir. Tentu saja harus diakui,
wacana-wacana ini prosentasi dan muatannya relative berbeda pada masing-masing
madrasah.
Ketika Fazlur Rahman berusia 14 tahun (1933 M), keluarganya hijrah
ke Lahore, kota dimana Fazlur Rahman menerima pendidikan modern, disamping
tetap menimba pengetahuan Islam tradisional dibawah asuhan ayahnya. Pada tahun
1940 M, ia menyelesaikan Sarjana Muda (B.A.) dalam jurusan Bahasa Arab di
Universitas Punjab. Dua tahun kemudian ia memperoleh gelar Master of Arts
(M.A.) dalam jurusan dan universitas yang sama. Pada tahun 1946 M, ia
melanjutkan studi pada progran doctor (Ph.D Program) di Universitas Oxford,
Inggris. Pada program ini Fazlur Rahman mengkonsentrasikan kajiannya dalam
jurusan Filsafat Islam. Ia merampungkan studi Doktornya dalam waktu 3 tahun
(1946-1949) dengan disertasi yang ditulisnya berjudul Avicenna’s Psychology.[9]
Setamat dari Oxford University, rahman tidak langsung pulang ke
Pakistan. Selama beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Ia menjadi dosen
bahasa persia dan filsafat Islam di Durha University Inggris pada 1950-1958.
Selanjutnya, atas berbagi pertimbangan, ia pindah ke McGill University Kanada
untuk menjadi associate professor pada bidang Islamic Studies. Namun,
tiga tahun kemudian, semangat patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya.[10]
Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan
pemikirannya dikemudia hari. Perdebatan publik di natara berbagai golongan
Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari
India. Pakistan berdaulat sebagai sebuah
negara merdeka pada 14 Agustus 1947. Akibatnya, gologan-golongan yang berseteru
semakin mendapatkan angin segar untuk mewujudkan ide-ide mereka. Ide-ide untuk
memberi identitas “Islam” bagi negara barunya.
Paling tidak, ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum
tradisionalis, dan kaum fundamentalis.[11] Diantara
ide dan gagasan yang diperdebatkan oleh ketiga kelompok yang berseteru berkisar
masalah bagaimana membentuk negara Pakistan pasca merdeka dari India. [12]Kaum
modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term-term ideologi
modern. Kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang berdasarkan atas
teori-teori politik tradisional Islam: khalifah dan imamah. Sedangkan kaum
fundamentalis mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”. Perdebatan ini
terus berlanjut hingga melahirkan berbagai konstitusi dengan amandemennya.
Di tengah perdebatan inilah, Rahman kelak tampil dan mengemukakan
gagasannya. Latar belakang ini, dengan demikian, menjadi pemicu baginya untuk
mendalami seluk beluk keilmuan islam dan menguasai berbagai arus metodologi
pemikiran.[13]
B.
RESPON
FAZLUR RAHMAN TERHADAP GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan Rahman ke Chicago adalah
akibat dari fakta bahwa negaranya belum siap menampung ide-ide pembaharuannya.
Sekslipun di India atau Pakistan telah terjadi pembaharuan, namun sifatnya
masih dalam lingkup yang sangat terbatas. Rahman belum melihat perkembangan
signifikan yang benar-benar selaras dengan harapannya. Pembahruan ini memiliki
tingkatan dan perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharusn ini secata umum
menjadi empat kelompok gerakan:[14]
-
Revivalisme
pramodernis.[15]
-
Modernisme
klasik.[16]
-
Neorevivalisme
atau revivalisme pascamodernis.[17]
-
Neomodernisme.[18]
Kehadiran Rahman dalam daftar
nama-nama pemikiran Islam membawa sesuatu yang baru terhadaap pemikiran Islam.
Meskipun sebebnarnya pembaharuan dalam Islam telah dilakukan oleh beberapa
pemikir Islam sebelum Rahman, namun pembaharuan yang mereka dengungkan masih dalam
taraf yang sangat dangkal, bukan tidak mu gkin penafsiran mereka masih
berbentuk tekstual, sehingga kemunculannya banyak mempunyai kelemahan-kelemahan
serta tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat yang kekinian.[19]
Karenanaya, dalam konteks ini Rahman
mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji
al-Qur’an. Metodologi yang tak lain adalah hermeneutika al-Qur’annya. Rahman
yakin bahwa metodologi yang ia maksudkan itu semaksimal mungkin terhindar dari
ijtihad yang tidak bertanggung jawab. Metodologi tersebut diharapkan dapat
melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam namun tetap berpegang pada
akar-akar spiritualnya.[20]
C.
HERMENEUTIKA
FAZLUR RAHMAN
1.
MENGUSUNG
EPISTEMOLOGI QURANI
Sebelum melihat ide-ide teoritis hermenetika Rahman, hal mendasar
yang perlu dikemukakan adalah konsep epistemologinya. Hal itu dirasa penting
sebaba ia menjadi landasan bagi titik tolak pemekiran hermeneutikanya.
Epistemologi merupakan persoalan yang paling mendasar dalam setiap bangunan
keilmuan, karena ia mempertanyakan secara filosofis dasar-dasar yang menopang
tegaknya suatu pengetahuan. Epistemologi sering didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mengadakan penyelidikan terhadap sumber, susunan, metode,
validitas, teori dan segala sesuatu yang membentuk pengetahuan.[21]
Dalam bahasan umum terdapat tiga sumber pengetahuan: akal, indera,
dan intuisi. Ketiganya membentuk formasi yang paralel. Namun dalam Islam
paralelitas itu tidak ditemukan. Paralelitas itu tidak ada, kecuali hanya
sebuah hierarki. Ketiga sumber itu dikategorikan sebagai sumber sekunder.
Adapun sumber primernya adalah Teks (dengan T besar) dalam hal ini adlah
al-Qur’an. Al-Qur’an inilah yang mempunyai tingkat validitas paling sahih
dibanding sumber lainnya. Sifat yang dibawanya otoritatif. Ini dimaklumi karena
Islam adalah agama wahyu. Agama yang dibentuk dari sebuah realitas yang
mengandaikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama ajarannya.[22]
Maka tidak heran ketika berbicara tentang epistemologi Islam,
pembicaraan awalnya biasanya tertuju pada upaya untuk memposisikan hubungan
antara al-Qur’an dan akal. Karena sifat otoritatif teks tersebut. Epistemologi
Islam kontemporer Mohamed Abed al-Jabiri mengklaim bahwa karakteristik Islam
yang menonjolkan peran teks itu dipadakan dengan karakteristik Yunani yang
menonjolkan filsafat dan karakteristik Eropa yang menonjolkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karakteristik Islam ini pada gilirannya membawa implikasi pada
kesulitan untuk menyuguhkan epistemologi sebagai teori pengetahuan dslam napas
objaktivitas dan netralitas. Rumusan teori pun, karenanya, tidak banyak
ditemukan. Ada paradoks ketika teori-teori epistemologi yang terbebas dari
wahyu diusung kedalam diskursus sebuah budaya yang menonjolkan wahyu.[23]
a.
Dominasi
Al-Qur’an
Hubungan antara
wahyu dengan akal dalam epistemologi Islam bukanlah hubungan yang setara atau
sebanding. Demikian pula, hubungan antara wahyu dengan sumber-sumber
pengetahuan lainnya meniscayakan hierarki. Proses yang terjalin dalam
epistemologi Islam tidak bisa disamakan dengan proses yang terjalin dalam epistemologi
Barat, yang menyetarakan akal dengan indra atau intuisi.[24]
b.
Persoalan
di seputar Sunah dan Hadis
Setelah
Al-Qur’an, Hadis atau Sunah Nabi menempati posisi kedua sebagai sumber ajaran
Islam. Ini tidak dinafikan Rahman. Namun ada persoalan yang harus dijelaskan
terlebih dahulu di sini, yakni menyangku kritisme yang sering dimunculkan
kalangan orientalis terhadap Sunah atau Hadis. Mereka meragukan bahkan
menegasikan keberadaan Hadis atau Sunah. Setidaknya, Ignaz Goldziher dan Margoliouth
adalah orientalis-orientalis yang direspons oleh Rahman.[25]
Rahman yakin
bahwa kajian para orientalis itu pada dasarnya bermuara pada sikap skeptis
mereka terhadap otentisitas dan eksistensi konsep Sunah dan Hadis Nabi. Bila
demikian, menurut Rahman, otentisitas dan eksistensi itulah yang harus segera
dijelaskan.[26]
c.
Peran
akal
Rahman
memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap akal. Ia memberikan kebebasan
kepada akal untuk mengekplorasi kebenaran ilmiah. Ia yakin, penciptaan gagasan
ilmiah lewat akal merupakan aktifitas yang nilainya paling tinggi menurut
al-Qur’ab. Indikasiya, Al-Qur’an sendiri memerintahka Nabi untuk terus berdoa
dalam upaya peningkatan ilmuya; Al-Qur’an berulang kali menekankan perlunya
manusia merenungi dan mengamati alam, sejarah, dan kebutuhan batinnya.[27]
2.
Metode
interpretasi sistematis
Gagasan
untuk menjadikan al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, al-Qur’an tidak
bisa dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang
berjalin berkelindan sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti.
Pemahaman seperti ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik,
mereka terlalu asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak
dalam penafsiran literal tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan
ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan
metode penafsiran.[28]
Menurut
Fazlur Rahman, prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an setidaknya mufassir
harus menempuh dua pendekatan, yaitu: pertama, mempelajari al-Qur’an
dalam ordo historis (Asbabun Nuzul) umtuk mengapresiasi tema-tema dan
gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat dari Firman Allah. Tidak
dilakukannya pendekatan ini berdampak pada tersesatnya dalam memahami butir
penting tertentu dari ajaran-ajarannya. Kedua, mengkaji al-Qur’an dalam
konteks latar belakang sosio historisnya. Dengan pendekatan ini akan diketahui
laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami
perintah-perintah al-Qur’an.[29]
Untuk
mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis,
kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak
ganda interpretasi). Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan
kon-tekstualis, sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang mampu menjawab
persoalan-persoalan kekinian. Adapun yang dimaksud dengan gerakan ganda adalah:
dimulai dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke
masa kini. Persoalan mengapa harus mengetahui masa al-Qur’an diturunkan? Sedangkan
masa dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan. Untuk menjawab
persoalan ini, Rahman mengatakan: al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan
dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.
Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an
diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara al-Qur’an dengan realitas,
baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim
(melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekontruksi tradisi).
Adapun
mekanisme hermeneutika double movement yang diusulkan Fazlur Rahman
dalam menginterpretasi al-Qur’an adalah:
1.
Gerak
Pertama
Gerakan
pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan,[30]
bertolak dari situasi kontemporer menuju ke Al-Qur’an diwahyukan, dalam
pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara
mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut
hadir sebagai jawabannya.[31]
Dalam
beberapa karya intelektualnya yang lain, yang ditulis ketika menetap di
Pakistan, Rahman juga secara berulang kali memberi penekanan yang tegas
terhadap pentingnya pemahaman kondisi aktual masyarakat Arab pra –Islam dan masa Nabi dalam rangka menafsirkan
pernyataan-pernyataan legal dan sosio-ekonomik al-Qur’an. Pendekatan historis
ini bahkan telah dipandangnya sebagai satu-satunya cara yang dapat diterima dan
dapat berlaku adil kepada tuntutan intelektual ataupun integritas moral: “Hanya
dengan cara semacam inilah suatu apresiasi sejati terhadap tujuan-tujuan
al-Qur’an dan sunnah dapat dicapai.”[32] Terdiri
dari dua langkah:
Langkah
pertama, merupakan tahap
pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji ayat-ayat
spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifikasinya, suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat istiadat,
lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat
turunnya Islam di kota Mekkah akan dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan
yang pertama adalah memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan
disamping dala batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap
situasi-situasi khusus.
Langkah
kedua, mengeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu da menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang
memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks
spesifik dalam sinaran latar belakang sosio histories dan ratio legis (ilat
hokum) yang sering di-nyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu –pemahaman
teks spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar kearah
itu.[33]
Ide
pokok yang terkandung dalam gerakan pertama, sebagaimana dikutip di atas,
adalah penerapan metode berfikir induktif: “berpikir dari ayat-ayat spesifik
menuju kepada prinsip”, atau dengan kata lain adalah “berpikir dari
aturan-aturan legal spesifik menuju kepada moral sosial yang bersifat umum yang
terkandung di dalamnya”.[34]
2.
Gerak
Kedua
Gerakan
kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus
yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Yakni, yang umum harus
diwujudkan dalam konteks sosio histories konkret sekarang. Ini sekali lagi
memerlukan kajian teliti terhadap situsi sekarang dan analisis terhada berbagai
unsure komponen sehingga kita dapat menilai situasi mutakhir dan mengubah yang
sekarang sejauh yang diperlukan, dan sehingga kita bisa menentukan
prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai al-Qur’an secara
baru.
Dengan
demikian, metodologi yang diintrodusir
oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir
antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu
saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian
seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada yang abadi. Yang ada dan abadi
hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan,, misalnya,
hanyalah satu model hukuman yang di-istimbathkan (digali) dari prinsip moral,
demikian para hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi pezina
ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Jika
dicermati teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba
mendialektikan teks, author, dan reader. Sebagai author, Fazlur
Rahman tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan
membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Fazlur Rahman
menelaah historisitas teks. Histories yang diaksudkan di sini bukanlah
semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang pahami oleh ulama konvensional,
yait peristiwa yang menyebabkan al-Qur’an diturunkan. Melainkan lebih luas dari
itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana al-Qur’an dituurunkan
atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah. Tujuan menelaah
histories teks disini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal, dalam bahasa
Rahman menyebutnya dengan ideal moral, sebab ideal moral berlaku
sepanjang masa dan tidak berubah-rubah. Dalam hal ini, Rahman membedakan antara
ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang
diesankan al-Qur’an. Sedangkann legal spesifik ketentuan hukum yanng diterapkan
secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal. Al-Qur’an dipandang elastis
dan fleksibel. Sesangkan legal spesifik lebih bersifat particular.[35]
Proses
pengaplikasian ideal moral, sebagai author, Rahman juga
mempertimbangkan kehadiran reader yang dilingkup oleh berbagai peraturan dan
latar belakang, seperti pengaplikasian hukum potong tangan, disini Rahman turut
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan agar tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia, jadi, reader disini adalah hak asasi manusia. Begitu juga
dalam poligami dan mawaris, pertimbangan Fazlur Rahman dalam kedua hukum
tersebut adalah nilai-nilai feminism. Jadi, reader yang menjadi
pertimbangan Rahman sebagai author bukan hanya reader lokal- untuk tidak
mengatakan islam- melainkan internasional (world citizenship). Disisnilah teori
double movement dikategorisasikan
sebagai sebuah metode hermeneutis yang tidak mendominasi salah satu unsur,
melainkan adanya keseimbangan antara tiga unsur, yaitu tex, author, dan reader.[36]
Selain
teori double movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam
menginterpretasikan al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut
adalah metode sintesis logis. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh rahman
sendiri:
“Kecuali dalam
penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas agama,
kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan
evolusi melalui al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintesis-kan
tema-tema, lebih bersifat logis ketimbang kronologis.” [37]
3.
Melacak
akar teori Double Movement
Jika
dicermati, teori double movement yang diusulkan Rahman merupakan perpaduan
antara tradisionalis muslim dengan hermeneutika Barat kontemporer. Ini
menunjukkan, Fazlur Rahman dalam membangun teori double movement tidak
terlepas dari pengaruh –atau minimal memiliki horizon yang sama dengan kedua
pemikiran tersebut.
Pengaruh
atau kesamaan tradisionalis muslim terhadap teori double movement jelas
sekali nampak pada langkah pertama dalam gerakan pertama. Pada langkah terebut
Rahman menyebutkan “dalam memahami suatu pernyataan, terlebih dahulu
memeperhatikan konteks mikro dan makro ketika al-Qur’an diturunkan”. Ide
tentang konteks mikro dan makro sebenarnya sudah digagas oleh Syah Waliyullah
al-Dahlawi dalam karyanya “Fazlur al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”. Dalam
karyanya, sebagaimana dikutip oleh Hamim Ilyas, al-Dahlawi menyebutkan kedua
konteks tersebut dengan asbab al-nuzul al-khasaah dan asbab al-nuzul
al-‘ammah.[38]
Disamping itu, kesamaannya adalah pernyataan al-Dahlawi bahwa al-Qur’an
turun merespons kehidupan masyarakat Arab dengan mendidik jiwa manusia dan
memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan jahat lainnya. Senada dengan
pernyataan tersebut, Rahman juga mengatakan al-Qur’an merupakan respon Ilahi
melalui ingatan dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat
dagang Mekkah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosial.
Meskipun
ada kesamaan, namun Rahman mengkritik pemikiran al-Dahlawi, sebagaimana yang
terlihat dari pemetaan kelompok pembaharuan. Menurut Rahman, al-Dahlawi
termasuk dalam kelompok revitalis pra-modernis, yaitu kelompok yang
mengembankan pembaharuan namun penafsirannya masih literal-tekstual. Oleh
karena ketiadaan data yang original, maka penulis kesulitan mencari untuk bisa
membuktikan atau membantah pernyataan Rahman. Meskipun demikian, penulis
berasumsi, pengkategorisasian penafsiran al-Dahlawi literal-tekstual disebabkan
oleh keterbatasan metode. Artinya al-Dahlawi menggunakan asbab al-nuzul
‘ammah namun hanya sebatas menelaah sosio-historis tanpa mengkaji ideal
moralnya dan tanpa adanya upaya untuk mengkontekstualisasikan.
Jauh
sebelum al-Dahlawi, teori ini juga pernah dikemukakan oleh Syatibi,
merupakan salah seorang ahli ushul fiqh, yang terkenal dengan teori “maqasid
al-syari’ah”.[39]
Selain
kedua tokoh muslim tersebut, Double movement Fazlur Rahman juga dipengaruhi oleh
hermeneutika Hans Georg Gadamer, sebab dalam teori Gadamer subjektivis adalah
pra pemahaman (Wirkungsgeschichte) yang ada pada diri pembaca teks. Artinya
ketika seorang membaca teks terlebih dahulu dipengaruhi oleh pra-pemahaman
(Wirkungsgeschichte) dan ini harus ada pada seseorang agar mampu mendialogkan
teks, sebab tanpa adanya pra pemahaman tidaka akan mampu mendialogkan teks
dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pembaca mempunyai horizon tersendiri, begitu
juga dengan sebuah teks mempunyai horizon tersendiri. Untuk mendapatkan
pesan-pesan teks secara objektif, pembaca harus membatasi horizonnya sendiri
dan lebih mengutamakan horizon teks dengan mengkaji historis dimana teks
tersebut muncul. Di sinilah pertemuan antara subjektifitas dengan objektivitas,
dimana horizon teks lebih di utamakan.
Pentingnya
mengetahui historis teks disebabkan kondisi sosial teks jauh berbeda dengan
pembaca, baik ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan.[40]
Dalam
teori double movement, pra-pemahamn (Wirkungsgeschichte) adalah sosial
melingkupi si penafsir, seperti yang disebut dalam langkah yang pertama, yaitu
“dari masa sekarang” atau situasi dan kondisi yang elingkupi penafsir. Oleh karena
pra-pemahaman mendahulu pada diri penafsir, maka untuk mengungkap pesan-pesan
teks supaya objektif, penafsir dituntut untuk meninggal pra pemahaman dengan
mengutamakan teks dengan menyalami historisitas di mana munculnya teks. Di sini
Rahman juga memandang bahwa teks mempunyai konteks tersendiri, maka untuk
menafsir dan memahami teks di perlukan kajian setting-sosial di mana
teks tersebut muncul. Dalam tahap aplikasi Rahman juga tidak menggunakan makna
literal teks tapi ideal moral dari teks tersebut.
Dari
penjelasan di atas, jelas sekali pengaruh hermeneutika Gadamer dalam teori double
movement Rahman, maka oleh sebab itu double movement dapat
dikategorikan dalam hermeneutika subjektifitas-objektifitas. Meskipun keterpengaruhan
itu tidak diakui oleh Rahman. Menurut Rahman, Gadamer adalah tokoh hermeneutika
subjektif yang tidak ketulungan.[41]
D.
KONSEP
METAFISIKA AL-QUR’AN MENURUT FAZLUR RAHMAN
1.
TUHAN
Sebuah
pertanyaan pertama yang perlu kita utarakan adalah: mengapa kita harus
memepercayai adanya Tuhan? Mengapa kita tidak membiarkan alam beserta berbagai
proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa perlu meyakini adanya yang lebih
tinggi dari pada alam, yang hanya merumitkan realitas serta memberatkan akal
pikiran dan jiwa manusia? Al-Qur’an mengatakan keyakinan kepada yang lebih
tinggi dari pada alam itu sebagai “keyakinan dan kesadarann terhadap yang gaib”
(2:3; 5:94; 21:49; 35:18; 36:11; 50:33; 57:25; 67:12).[42]
Pembahasan
Rahman tentang Tuhan meniscayakan pembahasan tentang makhluk-Nya, terutama
manusia dan alam semesta. Ada keterkaitan logis di dalamnya lantaran ketika
sebagian orang memahami konsep-konsep ini secara tidak utuh maka
misinterpretasi akan terjadi. Misinterpretasi ini pulalah yang melatarbelakangi
rumusan Rahman dalam hal ini. Rumusan ketuhanan Rahman hendak merespons
interpretasi Barat dan Muslim sendiri. Pertama, terhadap interpretasi
Barat. Banyak diantara mereka menggambarkan ketuhanan al-Qur’an sebagai suatu
konsentrasi kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam: sosok “raja
zalim”. Kedua, terhadap interpretasi kalangan ulama: (a) kaum Mu’tazilah
dan Asy’ariyah telah mereduksi makna perhubungan Tuhan dan manusia. Muktazilah
memberi peran yang sangat besar kepada manusia dan menyangkal peran Tuhan
sehingga manusia tampak benar-benar “bertanggung jawab”, sedang Asy’ariyyah
memandang manusiantidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Allah tampak
tetap sebagai “Yang Maha Kuasa”; (b) kalangan sufi ortodoks telah menganut
konsep Panteisme, paham bahwa semua adalah Tuhan.
Untuk
melihat jawaban Rahman atas kritisismenya, terlebih dahulu dipaparkan bahwa
berbagai argumen yang biasanya dipakai para filsuf untuk membuktikn adanya
Tuhan (ontologis, kosmologis, teleologis, dan moral) tidak direspek Rahman.
Sebab menurutnya Al-Qur’an sudah sedemikian gamblang menyeruka pada manusia
agar senantiasa beriman kepada Tuhan (lihat misalnya QS. Al-Maidah [5]: 94;
Al-Anbiya [21]: 49; Fathir [35]: 18; Yasin [36]:11; Qaf [50]: 33; Al-Hadid
[57]: 25). Upaya kaum filsuf dan teolog untuk membuktikan adanya Tuhan dengan
cara memaparkan bukti-bukti teologis yang panjang tidaklah diperlukan. Yang
diperlukan adalah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengalihkan
perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta itu
menjadi hal-hal yang mengingatkan mereka kepada eksistensi Tuhan, konsepsi ini
pulalah yanng selanjutnya mendasari al-Qur’an untuk menamakan dirinya sebagai
“sebuah peringatan”.
Dalam
konteks ini, ada tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya
pemberian peringatan kepada manusia: (a) segala sesuatu selain Tuhan tergantung
kepada Tuhan, (b) Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (c) aspek-aspek ini
mensyaratkan hubungan yang tepat antar Tuhan dan manusia, hubungan yang
dipertuan dan hamba-Nya, yang pada akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang
tepat pula diantara sesama manusia.
Pertanyaan
mengapa Tuhan diperlukan, jawabannya adalah karena manusia ataupun alam
bergantung kepada Tuhan. Sesuatu yang tergantung, tidak dapat dibayangkan tanpa
adanya tempat ia bergantung. Sebagai ciptaan Tuhan, alam semesta adalah sebuah
struktur yang kokoh dan terpadu tanpa celah dan retak, yang bekerja menurut
hukumnya sendiri yang bersumber dari Tuhan. Alam semesta bersifat otonom, tapi
tidak otokratis karena dala dirinya tidak ada jaminan terhadap eksistensinya
sendiri, dan karena ia tidak dapat menerangkan dirinya sendiri, ketergantugkan
itu diperlukan.
Ketergantungan
dua makhluk ini jelas berbeda, sebab manusia memiliki akal. Manusia dibebankan
tanggung jawab. Karena itu dalam proses ketergantungannya, mabusia
diperintahkan untuk merenungi darimana dan bagaimana alam semesta ini. Bila
oerintah ini dipenuhi, manusia akan menemui Tuhan. Pernyataan ini bukan
merupakan bukti terhadap eksistensi Tuhan, karena menurut al-Qur’an: jika
engkau tidak menemui Tuhan, maka engkau tidak dapat membuktikan eksistensi-Nya
(selanjutnya lihat QS. Al-Naahl [16]:9)
Maka
konsep relativisik yang enafikan kebenaran mutlak ditolak oleh Rahman. Sebab
walaupun ada pernyataan al-Qur’an bahwa semua jalan yang ditempuh manusia tidak
dapat menunjukkan kebenaran tentang Tuhan, tapi ada sebuah jalan lurus yag
mengakhiri persoalan ini, yaitu jalan enuju Tuhan, sementara jalan lain adalah
menyimpang. Untuk itu, manusia dianjurkan selalu merenungi penciptaan-Nya.
Implikasi yang dicapai dari proses perenunngan ini, manusia akan memperoleh
pemahaman, sehingga eksistensi Tuhan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang
tidak masuk akal, tetapi berubah menjadi Kebenaran Tertinggi. Perubahab inilah
yang menurut Rahman sebagai tujuan al-Qur’an. Dan bila tidak tercapai, akan
menjadi suatu kesia-siaan. Agar tercapai tujuan tersebut, manusia harus
mendengarkan seruan al-Qur’an.[43]
2.
ESKATOLOGI
Eskatologi
adalah doktrin tentang akhirat, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan
yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia.[44]
Terma-terma
al-Qur’an yang standar mengenai akibat amal perbuatan manusia bukanlah
keselamatan dan kutukan tetapi keberhasilan (falah) dan kegagalan (khusron),
baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Itulah
sebabnya al-Qur’an terus menerus menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu
untuk masa mendatang (59:18), karena apapun juga yang menimpa adalah hasil
perbuatannya terdahulu. Al-Qur’an aca kali mengatakan bahwa bila bencana
menimpa diri seseorang karena apa-apa “yang telah dipersiapkan oleh tangannya
sendiri”, maka ia akan mengalami frustasi (misalnya lihat yat-ayat 2:95; 3:182;
4:92; 5:80; 8:51; 18:57; 22:10; 28:47; sehubungan dengan akhirat secara
eksklusif lihat ayat-ayat 2:95; 62:7; 78:40; 82:5). Sesungguhnya esensi
“akhirat” adalah “akhir” kehidupan akibat jangka panjang dari amal perbuatan
manusia di atas dunia.
Catatan
amal perbuatan manusia yang akan berbicara (23:62; 45:29) dan tak dapat
disangkal itu cukup merupakan bukti yang membela atau mencelakakan dirinya.
Selain itu: Di saat tersebut akal pikiran kita diketahui oleh semua orang, kita
tidak dapat menyembunyikannya, bahkan kuburan-kuburab akan mengeluarkan isinya
(100: 9-10). Dab anggota-anggota tubuh lita akan berbicara dengan sendirinya
(41:19-24).[45]
E.
CONTOH
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN
Gagasan hermeneutika al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang
menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan
kontemporer. Sebagai contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.[46]
Langkah awal, penulis mencoba memahami makna poligami dalam
al-Qur’an dengan menelaah bagaimana al-Qur’am merespon realitas poligami pada
saat itu. Kemudian, respon al-Qur’an di generalisir dan dinyatakan sebagai
pernyataan yang mempunyai tujuan-tujuan moral sosial yang umum (prinsip-prinsip
umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjang) yang dapat “disaring” dari
ayat-ayat spesifik yang berkaitan dengan latar belakang sosio-historis dan
ratio legis yang sering diungkapkan. Dari prinsip-prinsip umum tersebut kita
bawa pada era sekarang, kita analisa persamaan dan perbedaannya untuk dapat
diformulasikan hukum yang tepat dan mampu menjawab hingar bingar poligami yang
menimbulkan polemik pro dan kontra.[47]
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Ayat
tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak yatim, baik
laki-laki ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.
Kemudian al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan
harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat
orang diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga
didukung oleh Q.S al-Nisa’ (4): 127.[48]
Pernyataan
diatas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini
muncul dlam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian al-Qur’an juga
mengatakan: “Betapapun kalian menginginkannya, namun kalian tidak akan dapat
berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (4:129).[49]
Tampaknya
ada sebuah kontradiksi di antara izin untuk beristri sapai empat orang (aspek
legal) dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka (ajaran moral al-Qur’an)
itu dengan pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap isteri-isteri tersebut
adalah mustahil.[50]
Tampaknya
memang benar bahwa izin berpoligami itu adalah taraf legal atau hukum,
sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah ideal
moral yang ahrus diperjuangkan masyarakat --sebuah cita-cita moral yang mana
masyarakat diharapkan bergerak kearahnya--,karena poligami itu tidak dapat
dihilangkan dengan begitu saja.[51]
Tampaknya
demikianlah prosedur yang biasa terjadi di dalam perbuatan hukum yang
berdasarkan al-Qur’an. Secara garis besarnya, setiap pernyataan yang legal atau
quasi-legal disertai oleh sebuah ratio legis yang menjelaskan mengapa sebuah
hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio legis secara sempurna
pertama sekali kita harus mempelajari latar belakang sosio-historis (yang oleh
komentator-komentator al-Qur’an dikatakan sebagai “alasan-alasan penurunan
wahyu”). Ratio legis merupakan inti, sedang legislasi yang aktual merupakan
perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio legis tersebut; Jika
tidak demikian maka hukum tersebut harus diubah. Jika situasi berubah
sedemikian rupa sehingga hukum tidak lagi mencerminkan ratio legis tersebut,
maka hukum tersebut pun harus diubah. Tetapi walaupun mengetahui ratio legis
tersebut, ahli-ahli hukum tradisional Muslim umumya mempertahankan hukum yang
harfiah dan mereka menegaskan sebuah prinsip bahwa “walaupun sebuah hukum
terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal”.[52]
BAB III
PENUTUP
Fazlur
Rahman adalah tokoh pemikir dari Pakistan yang mempunyai kepiyawaian berfikir
dan intelektualnya.
Melihat
para mufassir klasik yang masih menginterpretasikan al-Qur’an yang sebagian
besar masih terkungkung dengan penginterpretasian yang menurutnya sudah tidak
relevan di era sekarang ini, karena banyak konsep-konsep islam yang sulit di
aplikasikan atau banyak masalah jika diformulasikan untuk menjawab
problem-problem yang terjadi dewasa ini.
Fazlur Rahman mengusungkan metode
hermeneutiknya yaitu double movement, Gerakan Ganda. Karena menurutnya
metide ini dapat menjawab problem-problem masyarakat yang sedang terjadi.
Metode
double movement, Gerakan Ganda, adalah model penafsiran al-Qur’an yang
menggunakan langkah pemahaman al-Qur’an dari situasi sekarang ini menuju ke
situasi dimana al-Qur’an diturunkan, kemudian kembali ke masa sekarang guna
mengaplikasiakan dan formulasikan dengan apa yang terjadi di situasi yang
sedang terjadi.
Dengan
digunakannya metode yang di usung oleh Fazlur Rahman ini, diharapkan agar
Manusia dapat menggunakan al-Qur’an sebagaiman mestinya, yakni menjadiak
al-Qur’an sebagai sumber hukum yang relevan dimasa sekarang ini.
Wallahu
a’lam bishshowab......
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik
Adnan . 1989. Islam dan Tantangan
Modernitas Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan.
Kurdi dkk,
2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Mas’adi,
Ghufron A. 1998. Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rahman, Fazlur.
1996. Major Themes of the Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur.
1995. Islam & Modernity, Transformation Of An Intellectual Tradition. Terj.
Ahsin Mohammad. Bandung: Ganesha.
Rodiah Dkk.
2010. Studi al-Qur’an metode dan
konsep. Yogyakarta: eLSAQ press.
Sibawaihi, 2007.
Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman. Bandung: Jalasutra.
[1] Rodiah
Dkk, Studi al-Qur’an metode dan konsep, cet-1 (Yogyakarta: eLSAQ press,
2010) hlm v
[2] Ibid hlm
2
[3] Ibid hlm
3
[4]
Sibawaihi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, cet-1 (Bandung:
Jalasutra, 2007) hlm 4-5
[5] Rodiah
dkk, hlm 3
[6]
Sibawaih, hlm 18
[7] Rodiah dkk, hlm 3
[8] Ibid
[9] Ibid
[10]
Sibawaih, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 19
[11]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 17
[12] Kurdi
dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, cet-1 (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010) hlm 61
[13] Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 17-18
[14] Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 22
[15] Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 23
[16] Ibid.
[17] Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 24
[18] Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 25
[19] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 65
[20]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 25
[21]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 37
[22]Ibid
[23] Ibid
[24]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 38
[25]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 41
[26]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 42
[27]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 47
[28] Kurdi
dkk, hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, hlm 69-70
[29] Rodiah
dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, hlm 8
[30] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 70-71
[31] Rodiah
dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, hlm 11
[32] Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, cet-1 (Bandung: Mizan, 1989) hlm 189
[33] Fazlur
Rahman, Islam & Modernity, Transformation Of An Intellectual Tradition terj.,
Ahsin Mohammad, cet-2, (Bandung, Ganesha, 1995) hlm 7
[34] Ghufron
A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998) hlm 153
[35] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 71-73
[36] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 74
[37] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 73-74
[38] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, dalam Yudian W.Asmin (ed.), Kajian tentang
AL-Qur’an dan Hadis: Mengantar Purna Tugas Prof. Drs. H.M. Husein Yusuf (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hlm 75
[39] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 76
[40] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 78
[41] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, hlm 78-79
[42] Fazlur
Rahman, Major Themes of the Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, cet-2 (Bandung: Pustaka, 1996), hlm 2
[43]
Sibawaihi, hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 84-86
[44]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm 101
[45] Loc.
Cit. Hlm 157
[46] Kurdi
dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 79
[47] Rodiah
dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, hlm 15-16
[48] Loc.
Cit. Hlm 80
[49] Fazlur
Rahman, Major Themes Of The Qur’an terj., hlm 69
[50] Ibid.
[51] Fazlur
Rahman, Major Themes Of The Qur’an terj., hlm 70
[52] Iibid.